"SELAMAT DATANG... SILAHKAN BACA GRATIS BUKU NAMAKU NAFIRI DENGAN KLIK BAGIAN PADA DAFTAR ISI (KANAN BLOG) TERIMA KASIH"

Saturday, January 21, 2012

3. Tugas Perutusan (hal. 19 - 49)


Perjalanan hidup ini bagaikan perjalanan meniti “Tangga”
menuju Rumah Surgawi.

Ada yang naik dengan bersemangat,
namun ada juga yang naik dengan segala kelesuan.

Ada yang naik dengan mengandalkan tenaga sendiri,
namun ada juga yang naik dengan berharap pada uluran tangan
orang yang berada di dekatnya.

Berbagai macam hal bisa saja terjadi dalam kehidupan kita.
Setelah mengalami begitu banyak pengalaman hidup,
akhirnya saya menyadari bahwa tak ada tujuan lain dalam hidup ini
yang lebih berarti daripada “bersatu dengan ALLAH dalam dunia yang kekal”.
Dalam dunia itu, tidak ada lagi kekecewaan dan penderitaan,
tetapi kegembiraan dan damai sejahtera akan menyertai kita sepanjang masa.

Tangan Yesus telah menarik saya,
untuk tetap setia menaiki “Tangga” yang ditunjukkan-Nya.
Dan, sekarang Tuhan Yesus mengutus saya,
untuk menunjukkan “Tangga” itu kepada setiap orang yang mau mendengarkan.

Ini adalah suatu berita gembira,
yaitu: Yesus telah menunggu kita pada “Puncak Tangga Surgawi”.
Tuhan Yesus telah mengutus “Penuntun” yaitu Roh Kudus,
agar Dia menghibur dan menuntun kita dalam perjalanan menuju Surga.
Dan, dalam persatuan dengan Roh Kudus,
saya diutus Tuhan untuk memanggil Saudara sekalian,
untuk naik melalui “Tangga” itu.

Jika Saudara mau pergi ke situ,
maka Saudara sekalian tidak perlu berjuang sekuat tenaga
untuk menaiki “Tangga” itu.
Karena, ketika Saudara mulai menaiki anak tangga itu,
Saudara akan mengalami bahwa “Tangan Yesus” sendiri
yang akan menarik Saudara.

Jadi, saya hanya akan menunjukkan “Tangga” itu,
namun keputusannya ada pada diri Saudara sekalian.
Jika Saudara percaya, berharap, dan hidup dalam kasih,
maka Saudara akan menemukan bahwa “Tangga”
itu adalah sungguh “Tangga Menuju ALLAH”.

Sekarang pertanyaannya adalah: “TANGGA apakah itu?”
Jawabannya … TANGGA itu adalah:

“Jalan Salib”

“Yesus memikul Salib… naik ke Bukit Golgota.
Dia tidak berjalan turun, tetapi “naik”!
Semakin menuju ke arah puncak…
semakin beratlah beban Salib-Nya
Akan tetapi…
Yesus setia dan taat menaiki “Tangga” itu.
Demi apa… demi siapa?
Demi keselamatan kita.
Oleh karena itu sungguh sangat disayangkan…
Jika kita tidak mau berjalan melalui “Tangga” itu.
Jalan keselamatan kita telah dilukis dengan “Darah Kristus”.
Kita tinggal mengikuti Jejak-Nya.
Setia dan taat menaiki “Tangga” itu.
Setia dan taat menyusuri “Jalan Salib” dengan pertolongan Kristus.

Saya tidak akan mengatakan hal ini, jika saya tidak mengalaminya.

Jika Saudara sekalian mau membuka hati
pada pengalaman yang saya bagikan,
maka kelak Saudara pun akan berkata,
“Ya, saya percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kamu katakan,
Melainkan karena saya sudah mengalaminya.”

Sebenarnya saya masih sedang berjalan di “Tangga” itu.
Di situ saya berjumpa dengan Kristus.
Betapa Yesus Kristus bersedih
karena ada begitu banyak orang yang tidak sungguh-sungguh mengenal-Nya.

Begitu besar cinta dan belas kasihan Yesus.
Jika Dia boleh mengorbankan diri sekali lagi,
maka dengan rela Dia akan turun “Tangga”,
dan mulai dari awal – kembali menaiki “Tangga” itu –
demi mengajak setiap orang supaya mengikut Dia berjalan di “Jalan Salib”,
menuju kehidupan kekal.

Namun, tugas penebusan dengan wafat di kayu salib
Sudah dilakukan Yesus.
Dia tidak akan datang lagi untuk disalibkan kembali.
Dia memang akan datang kembali,
tetapi Dia akan datang sebagai Hakim Adil,
untuk menegakkan Kerajaan-Nya di muka bumi.

Jadi, ketika saya bertemu dengan-Nya,
Yesus meminta saya untuk berhenti sejenak.
Dia ingin saya turun lagi dari “Tangga” itu.
Dia meminta saya untuk turun, dan memanggil setiap orang lainnya
yang masih berada di tangga-tangga yang salah,
agar berbalik menuju “Tangga” yang benar.

Jujur saja, saya pernah berpikir,
“Ya Tuhan, mengapa aku harus tersiksa lagi?
Setelah sekian lamanya aku menanggung salibku dengan setia,
sekarang Engkau menyuruh aku berbalik turun?
Memanggil orang-orang lainnya?
Bukankah dengan demikian maka aku harus berjalan dari bawah bukit lagi?
Harus mendaki dari awal lagi?
Harus menderita lebih banyak lagi? Harus…”
“Mengapa aku tidak boleh dengan tenang menyusuri ‘Jalan Salibku’ sendiri?
Sudah semakin dekat puncak itu…
Sudah semakin dekat pula perjuanganku mencapai garis finish…
Tapi, sekarang Engkau menyuruh aku berbalik.
Sepertinya Kau hendak membantaiku
…”

Namun, saya akhirnya sadar…
Bukan Tuhan yang hendak membantai saya,
tetapi begitu banyak saudara dan sahabat saya
yang akan dibantai dalam kekekalan,
jika saya tega membiarkan mereka.
Maka… saya turun… dengan rela….

“Tangga Kehidupan” yang saya jalani
– di mana Tuhan memanggil dan mengutus saya –
dapat dikatakan berada dalam Tiga Babak Kehidupan,
yaitu: Tiga Titian pada Tangga Kehidupan.
Inilah “Jalan Salib” yang saya daki…


TITIAN PERTAMA: “PENCARIAN JATI DIRI”


Mengapa Saya Terlahir ke Dunia?

Hidup manusia di dunia hanya sekali.
Sejak kecil saya sering merenung sambil memandang langit dan bertanya:
“Untuk apakah saya ada di dunia ini?
Untuk apakah saya terlahir ke dunia ini?”
Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan kerinduan
akan pengenalan diri dari lubuk hati terdalam.
Saya merasa bahwa jauh di dalam saya
ada jiwa yang haus akan pengertian hidup yang sempurna.

Hingga menjelang usia tiga puluh tahun,
anak kecil itu pun masih tetap seorang anak yang sering menatap langit…
Namun kini anak kecil itu tahu,
bahwa kelak akan ada langit yang lain…
Kelak akan ada dunia yang lain.…


Saya Melihat yang Tak Terlihat

Sejak berusia sekitar lima tahun,
saya mulai melihat hal-hal yang tidak terlihat.
Entah malam entah subuh,
orangtua saya sedang tertidur ketika saya tiba-tiba terbangun.
Saya membangunkan mereka, tetapi mereka tetap tidak terbangun.
Ketika itu saya melihat segelas air putih
diletakkan di atas kepala tempat tidur kami.
Jadi, saya tahu bahwa waktu itu saya tidak sedang bermimpi, tetapi sadar.

Kemudian, tiba-tiba saja saya melihat seorang anak
berada di kamar tidur kami.
Seorang anak perempuan seusia saya.
Entah mengapa, saya tidak ketakutan melihat dia.
Anak itu berdiri di bagian bawah tempat tidur kami.
Dia berdiri tepat di sebelah kanan dari arah saya.
Anak itu memiliki potongan rambut hitam berponi – seperti rambut saya.
Wajahnya sangat mirip dengan saya.
Dia memakai baju putih yang indah.
Dengan tersenyum dia melintas di bawah tempat tidur kami.
Dia melambaikan tangannya sambil tubuhnya melayang dari kanan ke kiri…
dan… menghilang!

Sejak saat itu, saya terus melihat “yang tak terlihat”.

Bagi saya setiap hari adalah hari baru.
Hari untuk mengalami Tuhan,
dan untuk mengagumi kebesaran serta keajaiban kuasa-Nya.


Anak Kecil yang Mendengar Suara Tuhan

Sewaktu masih kecil saya pernah kehilangan uang di dalam rumah.
Lalu, saya pun berdoa memohon pertolongan Tuhan.
Kemudian, saya mendengar suara Roh Kudus
menyuruh saya mengikuti perintah-Nya.
Saya menutup mata dan Roh Kudus menuntun saya berjalan
ke kanan… ke kiri… ke kanan… ke kiri…
Lalu suara Roh Kudus berhenti sejenak.
Sesudah beberapa detik lamanya,
Dia berkata, “Ulurkanlah tanganmu ke atas!”

Ternyata, saya berhenti tepat di depan lemari es
dekat meja makan.
Ketika itu saya masih kecil,
dan tubuh saya masih lebih pendek dari lemari es itu.
Saya mengulurkan tangan ke atas,
lalu mulai meraba bagian atas lemari es.
Dan… Ya!! Itu dia!
Tangan saya berhasil memegang selembar kertas.
Saya menarik kertas itu, dan… ya benar, itu uang saya.

Sejak kecil Tuhan telah memperkenalkan suara-Nya kepada saya.
Dan, hingga kini Dia pun masih terus berbicara…


Anak Kecil yang Percaya Tuhan

Sebagai seorang anak kecil,
saya percaya dengan apa yang diajarkan oleh orangtua saya.
Saya tidak tahu dengan orang lainnya,
tapi sebagai anak-anak, saya percaya pada orangtua.

Mereka membesarkan saya dalam sebuah keluarga Katolik
yang kehidupannya dekat dengan Gereja.
Mereka mendidik saya secara Katolik,
dan saya sangat bersyukur kepada Tuhan oleh karena semuanya itu.

Sejak kecil orangtua saya selalu membawa kami anak-anak
untuk mengikuti Misa dan ibadah-ibadah lingkungan.
Bahkan, dalam perayaan-perayaan Natal dan Paskah
yang diselenggarakan di kantor mereka,
kami anak-anak pun turut diajak untuk terlibat di dalamnya.

Jadi, sejak kecil saya sudah mendengar bahwa Tuhan itu ada,
dan saya percaya kepada-Nya.


Anak Kecil yang Berhasil Berprestasi

Dalam perjalanan mencari jati diri,
saya menjadi anak yang senang berlomba mencapai suatu prestasi tertentu.
Harus saya akui, saya senang berlomba untuk mencapai kemenangan.
Dan… saya sering jadi “Juara”.

Maksud saya menceritakan prestasi saya ini,
semata-mata hanya untuk menunjukkan kepada Saudara sekalian,
bahwa betapa Tuhan sungguh menjadi sumber kekuatan bagi saya.

Kisah ini saya tampilkan
juga untuk memperlihatkan kepada Saudara sekalian,
bahwa bumi ini berputar.

Seorang anak yang biasa disebut “JUARA”,
yang biasa menjadi “Seorang Pemenang”,
justru kelak – ketika dewasa – malahan jatuh dengan telak
dan menjadi seorang yang “KALAH”.

Dari pengalaman “Meraih Kemenangan”
dan pengalaman “Menerima Kekalahan”,
saya menyadari bahwa Tuhan yang menyertai saya dalam kemenangan,
Tuhan yang sama itu juga turut menyertai saya dalam kekalahan.
Tidak sekali pun Dia meninggalkan saya.
Tuhan adalah andalan saya dalam segala hal.


Anak Kecil yang Ingin Memperkenalkan Kasih

Sejak kecil saya selalu ingin memperkenalkan ‘kasih’ kepada orang lain.
Lalu, saya pun memulainya dengan pengertian seorang anak-anak.

Ketika duduk di bangku SD,
saya mulai mengarang cerita-cerita anak dan membuat komik.
Di dalamnya saya selipkan berbagai hal tentang ‘kasih’
dalam segala kebaikan dan keindahan.
Namun, hasilnya adalah… semua cerita itu tidak pernah selesai.

Keinginan untuk membagi kasih berkali-kali terantuk batu
dan berkali-kali saya jatuh bangun.
Justru pada kenyataannya,
yang terjadi kemudian bukannya saya menjadi seorang yang membagi kasih,
melainkan malah menjadi seorang yang mengecewakan,
gagal, dan sama sekali tak berarti.

Dulu, tulisan saya mengenai “kasih” adalah hasil pemahaman
atas hidup saya yang penuh dengan kasih.
Kasih dalam keluarga.
Kasih dalam Gereja.
Kasih dalam lingkungan sekitar.

Saya belum tahu
bahwa ternyata ada makna kasih yang lebih mendalam,
yang hendak Tuhan tunjukkan kepada saya.
Kasih yang kemudian saya temukan dalam rupa-rupa penderitaan.
Kasih yang justru hadir ketika saya dihindari orang,
dibuang, dikhianati, dicerca, difitnah,
dan segala hal buruk lainnya menimpa saya.

Akhirnya saya pun sadar:
saya harus terlebih dahulu mengalami kasih Tuhan
dalam rupa-rupa pencobaan dan penderitaan;
saya harus belajar mengasihi Tuhan dan sesama
meskipun dalam keadaan yang sedang menangis dan sengsara;
saya harus tetap bisa mengasihi meskipun saya tidak lagi dikasihi.
Saya harus belajar banyak tentang “Dunia KASIH”,
sebelum saya dengan sungguh-sungguh dapat memperkenalkan “kasih”.

Ternyata, seseorang harus terlebih dahulu
mengenal “KASIH TUHAN” yang sesungguhnya,
baru kemudian seseorang itu dapat menjadi orang
yang sanggup memperkenalkan “kasih”.

Bertahun-tahun saya menulis kisah fiksi tentang kasih,
tetapi tidak ada satu pun yang selesai.
Mengapa?
Karena yang saya tahu ketika itu adalah dunia ini begitu indah
– karena saya dikasihi dan mengasihi.
Saya belum memahami
bahwa hidup bisa memberikan kepahitan
yang teramat sangat kepada manusia,
sehingga kasih dapat hilang begitu saja.

Jadi, ketika itu saya belum memahami makna “kasih” yang sesungguhnya.
Saat itu saya hanya mengarang-ngarang cerita.
Saya hanya berimajinasi.
Saya menuliskan sesuatu yang belum saya tahu dan mengerti.
Saat itu saya belum memahami arti “kasih” dalam perkataan Yesus:

“… Kasihilah musuhmu
dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Karena dengan demikianlah
kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga,
yang menerbitkan matahari
bagi orang yang jahat dan orang yang baik
dan menurunkan hujan
bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu?
Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Matius 5:44-46)

Sesungguhnya, ketika itu
– saat saya ingin memperkenalkan kasih –
saya belum benar-benar tahu dan mengerti
tentang bagaimana caranya mengasihi.
Dan, saya tidak pernah berhasil.

Namun, kini saya hadir dalam buku ini,
memperkenalkan “KASIH” pada Saudara sekalian.
Dan, saya berhasil menyelesaikan pekerjaan ini.
Mengapa?
Karena saya menuliskan diri saya sendiri di dalamnya.
Saya menuliskan kehidupan nyata yang saya jalani.
Saya menuliskan sesuatu yang saya tahu dan saya mengerti.
Dan, kali ini saya berhasil.

Besar harapan saya,
buku yang saya tulis ini akan menggenapi keberhasilan saya dalam Tuhan
– untuk memuliakan kebesaran Yang Maha Kuasa
atas pekerjaan tangan-Nya,
yang dilakukan-Nya melalui hamba yang mengandalkan-Nya.


TITIAN KEDUA: “KESENGSARAAN SEBAGAI TITIK BALIK”


Seorang yang Kecewa

Ketika beranjak remaja,
saya mengenal seseorang yang sangat istimewa.
Saya jatuh cinta kepadanya… lalu berbahagia…
dan kemudian kecewa.
Pengalaman ini adalah pengalaman pertama kalinya
dalam kehidupan saya,
di mana saya belajar untuk mencintai dalam kesengsaraan.

Dari situ saya pun akhirnya menyadari betapa baiknya Tuhan.
Karena, dengan mempertemukan saya dengan yang namanya “kesengsaraan”,
Tuhan telah mempertemukan saya dengan yang namanya “cinta”.

Inilah penderitaan saya yang pertama….

“Ya Tuhan Yesus,
betapa berharganya setiap orang
yang Kau izinkan hadir dalam kehidupan kami.
Meskipun melalui pertemuan-pertemuan ini,
kami mengalami begitu banyak kekecewaan,
namun dari situasi yang seperti ini,
Engkau menunjukkan bahwa kami manusia sungguh membutuhkan-Mu.
Terima kasih ya Tuhan,
untuk kebaikan-Mu dalam hidup kami.
Terima kasih untuk orang-orang
yang Kau izinkan hadir dan mewarnai hidup kami.
Berkatilah mereka ya Tuhan, seturut besar belas kasih-Mu. Amin.”


Keluarga yang Hampir Hancur Berantakan

Seiring berjalannya waktu,
saya tidak lagi memikirkan hubungan cinta yang putus di tengah jalan.
Saya belajar menerima kenyataan hidup –
meskipun itu bukanlah hal yang gampang.

Namun…
beberapa saat kemudian,
saya tidak pernah menyangka
bahwa penderitaan tahap berikutnya siap menyambut di ambang pintu.

Dan, Inilah penderitaan saya yang kedua….

Beberapa waktu sebelumnya,
keluarga saya adalah keluarga yang harmonis dan berbahagia.
Tapi… sungguh… malang tak dapat kita tolak.
Sesuatu yang sangat buruk terjadi dalam keluarga kami.
Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Orangtua saya bertengkar hebat.
Saya dan kedua adik saya melihat bahwa orangtua kami sangat menderita,
namun kami pun menderita dan sayangnya mereka tidak peduli.
Mereka tidak peduli bukannya karena mereka tidak sayang lagi
kepada anak-anak,
namun mereka tidak punya kekuatan lagi
untuk memerhatikan orang lain yang berada di sekitarnya.
Bagi mereka dunia terasa sangat gelap,
dan bagi kami anak-anak, dunia terasa teramat sangat gelap.

Kami kehilangan figur seorang ayah,
juga kehilangan figur seorang ibu.
Yang tampak di hadapan kami hanyalah dua anak manusia
yang patut dikasihani.

Sepanjang yang kami tahu,
orangtua kami adalah panutan bagi kami.
Dalam pandangan kami,
mereka itu hampir sempurna untuk ukuran manusia.
Namun, tiba-tiba saja dunia berubah,
dan mereka menjadi seperti anak-anak kecil
yang sangat rapuh dan harus selalu dijaga.

Sungguh,
ketika itu kegelapan yang sangat pekat memasuki kehidupan keluarga kami.
Setiap hari adalah hari pertengkaran.
Setiap hari adalah hari deraian air mata.
Setiap hari adalah hari yang berbeban berat.
Setiap hari adalah hari penyiksaan dan kesengsaraan.

Namun,
di sinilah kami sebagai anak-anak sadar akan makna sebuah keluarga,
yaitu: saling menerima satu sama lain, dalam untung dan malang,
sambil tak henti-hentinya berharap pada pertolongan dari Tuhan.

Kami tahu bahwa waktu itu orangtua kami sedang “sakit parah”.
Jadi, kami harus merawat mereka, bukannya meninggalkan mereka.

Saya selalu ingat,
setiap kali ada seorang di antara kami yang sakit,
maka orangtua kami akan merawat kami dengan penuh kasih sayang.
Sehingga, tidak adil jika kami mengabaikan orangtua kami
di saat mereka berada dalam keadaan “sakit parah”.
Keadaan di mana mereka menjadi “orangtua yang mengecewakan
dan tidak bisa diandalkan”.

Demikianlah, waktu berlalu seakan tanpa titik terang
untuk keluar dari permasalahan hidup.
Namun, kami selalu percaya bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan kami.
Tuhan pasti menolong kami dengan cara-Nya sendiri
dan dalam waktu yang ditentukan-Nya.

Kami percaya bahwa hanya Tuhan yang dapat menolong kami.
Cepat atau lambat, Tuhan pasti menolong kami.
Kami percaya kepada Tuhan Yesus.
Di sinilah letak “IMAN” kami.

Meskipun keadaan keluarga kami ketika itu
seakan sudah tak ada harapan lagi,
namun kami tak berhenti berharap
bahwa Tuhan akan mengabulkan doa kami.
Dan, kami selalu berharap bahwa cepat atau lambat
Tuhan Yesus akan mengeluarkan kami dari pencobaan ini.
Tuhan Yesus sanggup untuk melakukannya.
Kami terus berharap supaya Tuhan berkenan menyingkirkan kegelapan
dari dalam keluarga kami.
Dengan kesabaran kami setia berharap
pada pertolongan yang datang dari Yesus.
Di sinilah letak “PENGHARAPAN” kami.

Setiap hari kami berusaha untuk menerima kekurangan satu sama lain.
Kami membuka hati untuk saling memaafkan.
Kami saling memberikan kesempatan untuk belajar memperbaiki diri.
Kesempatan yang kami berikan itu sungguh tak ada batas.
Kesabaran yang kami berikan juga sungguh tak ada batas.
Kami tahu bahwa kami tak dapat melakukan semua itu
jika tidak ada kasih di hati kami.

Meskipun tampaknya kami hampir kehilangan kasih,
namun kami tidak kehabisan kasih
karena Tuhan Yesus selalu memberikan kasih-Nya bagi kami.
Di dalam kasih Yesus Kristus,
kami sanggup belajar mengampuni dan mengasihi.
Di sinilah letak “KASIH” kami.

Dalam keterpurukan hidup keluarga,
akhirnya kami mengalami dengan sungguh,
bahwa: iman, pengharapan, dan kasih
adalah jalan keluar dari permasalahan hidup ini.
Kami belajar bahwa melalui iman akan Yesus,
melalui pengharapan kepada Yesus,
dan melalui hidup dalam kasih Yesus,
kami beroleh jalan keselamatan.

Jadi, dari dalam keluarga yang kacau dan hampir hancur berantakan,
kami menemukan bahwa Tuhan yang kami abdi
adalah sungguh Tuhan yang hidup
dan yang berkarya dalam kehidupan kami.

Dari penderitaan inilah kami semakin mengenal
bahwa Yesus Kristus yang adalah Firman ALLAH,
Dia adalah Tuhan dan Juru Selamat dunia.
Yesus Kristus sungguh-sungguh adalah Jalan, dan Kebenaran, dan Hidup.

Jika kami hanya bersandar
pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri,
terus terang saja kami tak akan sanggup
menghadapi penderitaan dalam kegelapan yang teramat sangat itu.
Kami tak akan mungkin masih sanggup memberikan
“pengampunan, kasih, belas kasihan, dan kepedulian”
karena saat itu kami masing-masing sudah sangat menderita.

Sungguh, hanya TUHAN sajalah
yang menjadi JURU SELAMAT keluarga kami.
Hanya berkat rahmat, kasih, dan kerahiman-Nya sajalah
keluarga kami bisa dipulihkan.
Dan, yang terutama, atas karunia-Nya yang tiada tara
kami pun semakin mengasihi ALLAH,
serta mengasihi satu sama lain.

Melalui buku ini, saya ingin mengatakan kepada keluarga saya:

“Papa, Mama, dan adik-adikku tercinta,
terima kasih untuk kehadiran kalian dalam hidupku.
Apa yang pernah terjadi dalam kehidupan keluarga kita
sungguh merupakan suatu rahmat.
Ya, penderitaan yang pernah kita alami merupakan anugerah dari Tuhan.
Itu adalah anugerah untuk mengalami hidup
yang ‘memberikan kasih di saat-saat tersulit dalam kehidupan berkeluarga’.
Ya, anugerah itu adalah anugerah kasih.
Semoga kita selalu bersatu sebagai satu keluarga,
yang saling mendoakan dan saling mengasihi.”

“Ya Allah Bapa Yang Kekal,
kami bersyukur kepada-Mu atas keluarga yang begitu berharga ini.
Kami beryukur kepada-Mu atas setiap untung dan malang yang kami terima.
Demi Yesus Kristus Putra-Mu, kami mohon kepada-Mu ….
Anugerahkanlah kami rahmat untuk tetap bersatu selamanya.
Anugerahkanlah juga rahmat persatuan bagi seluruh keluarga di seluruh dunia.
Terangilah hati nurani setiap keluarga untuk tidak bercerai.
Satukanlah kembali setiap keluarga yang telah bercerai.
Ajarlah kami selalu untuk saling menerima.
Berilah kami hati yang selalu saling mengasihi.
Semoga Roh Kudus senantiasa menaungi dan menuntun langkah kami,
sampai kami menghadap Tahta-Mu
dan menjadi ‘Satu Keluarga Kudus’ di dalam Engkau Yang Mahakudus. Amin.”


Keberhasilan yang Hampa dan Kegagalan yang Dahsyat

Pada masa-masa di mana saya mencoba mencari kebahagiaan
Yang tidak dapat saya peroleh di dalam keluarga,
saya pun memutuskan untuk menekuni dunia musik
– dunia harmoni yang saya cintai.

Dan, inilah penderitaan saya yang ketiga.…

Ketika itu saya berhenti bekerja kantoran
dan memilih beralih ke dunia musik.

Saat itu, saya sempat mencapai beberapa prestasi.
Namun, jauh di dalam lubuk hati,
saya tetap merasakan suatu kekosongan.
Saya tidak bisa duduk tenang.
Saya merasa harus mengerjakan ini… atau mengerjakan itu….
Yang ada dalam pikiran saya adalah saya harus melakukan sesuatu…
Saya tidak bisa berdiam diri.…

Jika saya berdiam diri,
maka semua kekecewaan dan sakit hati
yang diakibatkan oleh perpecahan dalam keluarga
rasa-rasanya hendak membunuh saya.
Jadi… saya bertekun dalam musik;
Sejenak berhasil; dan sejenak berbahagia.
Namun… kebahagiaan itu semu… hampa… kosong.…

Hari demi hari berlalu,
saya semakin terlarut dalam dunia musik dan entertainment.
Saya tidak lagi memerhatikan hal-hal rohani.

Sejenak saya menomorduakan Tuhan
yang selama ini selalu menjadi andalan saya.
Saya jarang mengikuti Misa pada hari Minggu.
Saya menjadi seorang yang lepas kendali
– yang saya tahu adalah saya akan melakukan apa yang saya mau!

Dan, hasilnya… saya gagal dalam pengertian benar-benar gagal.
Berbagai cara saya coba lakukan untuk menutupi kegagalan itu,
namun hasilnya sudah bisa ditebak… GAGAL!
Kesimpulannya: saya bangkrut dalam usia 25 tahun,
dan membuat keluarga saya turut menanggung sakitnya kebangkrutan tersebut.

Ketika itu, bukan hanya sekali saya bertanya kepada Tuhan....
“Ya Tuhan, ketika aku menemukan keinginan yang kuat
untuk menolong sesama yang miskin,
Engkau memberkati keluargaku
dengan keadaan ekonomi yang mencukupi – bahkan lebih.

Tetapi, mengapa ketika aku berusaha mewujudkan keinginanku
dalam tindakan nyata untuk menolong sesama yang miskin,
hidup keluargaku justru Kau ubah menjadi miskin?
Lantas, bagaimana caranya aku yang miskin ini
dapat menolong mereka yang miskin?”

Lalu, saya pun menyadari bahwa hal itu terjadi
karena ALLAH mengizinkan saya menderita bersama Yesus Putra-Nya.
Bukan dengan mengalami Yesus sebagai Raja,
tetapi mengalami Yesus yang menderita
di dalam penderitaan-penderitaan dan kegagalan hidup saya.
Mengalami artinya jatuh ke dalam kemiskinan,
bagaimana harga diri diinjak-injak,
bagaimana suatu ketika dieluk-elukan
dan sesaat kemudian dikejar-kejar sebagai penipu,
difitnah, dihakimi, dan dihujat.

ALLAH mengizinkan saya menderita
agar dengan demikian saya bisa mengalami dengan sungguh
bahwa Yesus adalah Juru Selamat.

Di saat jiwa terluka dan berbeban berat,
di saat itulah Tuhan Yesus memperlihatkan
bahwa Dia-lah satu-satunya pertolongan dan jalan keselamatan.
Jika Tuhan Yesus tidak ada, atau Dia cuma dongeng belaka,
maka saya tidak akan pernah bisa pulih
dari luka-luka yang pernah saya terima.
Jika Yesus cuma manusia biasa,
dan penebusan dosa yang dilakukan-Nya di kayu salib
cuma kebohongan semata,
maka saya akan kehilangan arah
dan akan tetap terus hidup dalam kegelapan.

Dan… kenyataannya adalah
saya tidak lagi berada dalam kegelapan itu.
Yesus sudah mengalahkan kegelapan itu!
Mengapa Yesus sanggup mengalahkannya?
Karena Yesus Kristus yang menolong saya – seorang yang hina ini –
adalah sungguh PUTRA ALLAH, TUHAN, dan JURU SELAMAT.
Yesus-lah andalan saya… kini dan selamanya!

Sesungguhnya, segala sesuatu ada masanya.
Ada masa menabur dan ada masa menuai.
Ada awal kesengsaraan dan ada akhir kesengsaraan.

Dalam kurun waktu lima tahun
Tuhan telah memperlihatkan “wajah dunia yang sengsara”
kepada saya dan keluarga saya.
Tuhan telah memperlihatkan betapa mudahnya
manusia jatuh dalam dosa dan pencobaan.
Dan, betapa mudahnya untuk keluar dari dosa
dan terhindar dari pencobaan,
sekiranya pada manusia ada “ketaatan”.

Setelah lima tahun berlalu,
akhirnya saya dan keluarga kembali dipulihkan.
Selama lima tahun kami merasakan bagaimana pahitnya
hidup dalam keretakan rumah tangga
dan merasakan betapa sengsaranya hidup dalam kemiskinan.
Selama lima tahun kami mengalami
bahwa Tuhan Yesus sungguh adalah “Pintu Keselamatan” bagi kami.
Tuhan Yesus sungguh-sungguh adalah: Jalan, dan Kebenaran, dan Hidup.
Bukan dari perkataan orang kami mengetahui hal itu,
Tapi kami mengetahuinya karena kami mengalami kerahiman-Nya.


Masa Muda yang Hilang

Pada titik terendah dalam masa kesengsaraan jiwa
yang merasa rendah, hina, lemah, gagal, bersalah, dan berdosa,
saya sering kali menangis sendirian.

Masa-masa indah telah berlalu.
Masa-masa kemenangan telah lewat.
Akhirnya saya tersadar, saya benar-benar gagal total!
Dan, ketika saya bercermin, saya terkejut....
“Aahh.... Aku tidak muda lagi!”

Mungkin bagi Saudara sekalian saya terlalu berlebihan.
Tapi,memang itulah yang saya rasakan.
Coba bayangkan bila Saudara malam ini berdiri di depan kaca
dan melihat bayangan seorang remaja menjelang dewasa.
Lalu, besoknya terbangun dari tidur,
Kemudian kembali berkaca,
dan menemukan sosok seorang dewasa yang hampir tua .…
Bayangkanlah bagaimana perasaan Saudara!

Terkadang, ketika saya berada dalam masa kegelapan,
kepahitan ini sungguh sangat menyiksa.
Dan, saya menjadi seorang bodoh yang bertanya....
“Ke mana terbangnya masa mudaku?
Apa yang aku lakukan selama beberapa tahun terakhir ini?
Ke mana perginya tahun-tahun masa mudaku?”
Semua bagaikan mimpi buruk....

Tapi, itu semua adalah pertanyaan
dari seorang yang sedang berada dalam jurang
yang sangat dalam dan kelam.

Kini, ketika kesengsaraan itu sudah berlalu,
saya hanya bisa tersenyum mengenang semua itu.
Sungguh, sudah selayaknya jika saya bergembira dalam Tuhan.
Masa muda saya tidak hilang ke mana-mana.
Justru, masa muda saya berada dalam genggaman tangan Tuhan.
Dalam masa ini, saya bertumbuh bersama Tuhan dan di dalam Tuhan.
Masa muda saya adalah masa di mana saya mengenal Tuhan
jauh lebih dari yang sebelumnya.
Masa ini adalah masa yang sangat berharga dalam hidup saya.
Masa di mana saya mulai belajar mengatakan dengan sungguh-sungguh
dan dengan tulus hati:
“Ya Tuhan… aku ini hamba-Mu… Engkau adalah Tuhanku.
Terjadilah padaku seturut dengan kehendak-Mu.”


Yesus Mengangkat Saya dari Jurang Kelam

Pada titik terendah dalam kesuraman hidup,
saya selalu merenung dan menangisi diri saya,
seorang yang sangat berdosa ini.
Di dalam kamar, saya menangis dengan berderai air mata.
Air mata penyesalan dan tobat yang dalam.

Pada saat saya berada dalam keadaan yang demikian,
saya merasakan bahwa Yesus pun turut menangis bersama-sama saya.
Yesus turut merasakan penderitaan dan luka yang saya rasakan.
Saat itu saya mengungkapkan perasaan dan kesengsaraan saya kepada-Nya.
Dan, Dia mengerti. Dia memahami. Dia peduli.
Dia mendengarkan saya dengan penuh kasih setia dan belas kasihan.

Dulu saya sempat bertanya,

“Ya Tuhan, mengapa aku bisa menjadi sejahat ini?
Kau tahu isi hatiku. Sungguh, aku tidak pernah bermaksud demikian.
Namun, jujur aku akui dengan penuh kerendahan di hadapan-Mu,
bahwa aku memang telah bersalah dan berdosa,
terhadap Engkau dan terhadap sesama.”

Lalu, Tuhan pun membuat saya sadar
bahwa meskipun saya selalu berusaha menjadi orang baik,
tapi saya hanyalah manusia biasa.
Tuhan mengizinkan semua hal buruk itu terjadi,
supaya saya mengakui di hadapan-Nya,
bahwa sebaik apa pun saya ini,
saya hanyalah seorang pendosa,
manusia yang tidak berguna.
Bukan sekadar “saya hanyalah setitik debu”,
melainkan lebih dari itu “saya hanyalah ketiadaan.”

Kepahitan yang terjadi dalam hidup saya,
saya terima dengan ikhlas sebagai tanda pertobatan.
Saya mengakui bahwa saya memang seorang yang berdosa
dan saya layak menanggung semua penderitaan itu.
Kesengsaraan yang saya tanggung dalam hidup ini
saya terima dengan rela,
sebagai tanda bahwa saya mau merendahkan diri
di hadapan ALLAH Yang Mahakuasa.

Saya hanyalah seorang hamba yang tidak berguna.
Segala kebaikan yang ada pada saya,
sungguh sia-sia belaka
ketika tiba waktunya “kemalangan menimpa anak manusia”.

Ternyata ada yang lebih penting dari kebaikan hati,
yaitu: “sikap merendahkan diri di hadapan ALLAH
dan mengakui diri sebagai manusia berdosa yang butuh diselamatkan.”

Akhirnya,
dari pergumulan dalam tangisan pertobatan
dan perenungan akan kebesaran ALLAH,
kedamaian pun mulai menjamah hati saya.
Yesus Kristus mengangkat saya dari jurang kelam.
Semua penderitaan, ketakutan, kekecewaan,
kegagalan, rasa bersalah, dan dosa yang membebani saya
akhirnya terangkat secara ajaib.

Maksudnya adalah:
semua hal-hal buruk yang membebani saya itu
tidak lagi mengikat saya untuk tetap berada dalam kegelapan.
Secara ajaib – tak dapat dilukiskan dengan satu kata pun –
damai sejahtera hadir
dan membungkus saya dalam perlindungan kehangatan cinta Yesus Kristus.

Apa yang pernah terjadi dalam hidup saya tidak akan saya ingkari,
bahwa saya memang telah mengalami semuanya itu.
Ya, saya tidak mengingkari
bahwa saya adalah seorang yang berbuat banyak kesalahan dalam hidup.
Saya adalah seorang pendosa yang malang.
Tapi, inilah yang menjadi kesaksian saya:
bahwa ketika Yesus mengangkat saya dari kegelapan yang teramat pekat itu,
saya tahu bahwa semua yang berlalu itu sudah berlalu.
Sudah tertinggal di dasar jurang.
Kegelapan adalah milik jurang kegelapan.

Jika saya tetap berada di dasar jurang,
maka selamanya kegelapan itu memiliki saya.
Tapi, saya telah berharap pada pertolongan Yesus,
dan Dia dengan penuh kerahiman telah mengangkat saya
dari jurang kegelapan itu.

Jadi, sekali lagi, kegelapan adalah milik jurang kegelapan.
Sejak saya diangkat oleh Yesus dan diselamatkan oleh kerahiman-Nya,
saya menjadi milik Terang.

Di dalam Terang Kristus
ada cahaya kehangatan,
ada kedamaian,
ada sukacita,
ada penyerahan diri seutuhnya,
ada keselamatan.
Di dalam Terang Kristus ada iman, pengharapan, dan kasih
yang senantiasa bertumbuh dan berkembang,
menuju pada kesempurnaan hidup yang sejati di dalam Tuhan.


Yesus Memanggil Saya: “Mari…”

Tuhan Yesus memakai berbagai cara untuk mengalihkan perhatian saya
dari pemikiran-pemikiran akan masa lalu yang gelap.
Dia mengarahkan akal budi, pengertian, dan kehendak yang ada di dalam saya
untuk lebih sering membaca Alkitab dan merenungkannya.
Tuhan Yesus juga mengaruniakan rahmat bagi saya
untuk rindu berjumpa dengan Sabda Tuhan
yang sungguh hidup di dalam diri Para Orang Kudus-Nya.

Yesus Kristus memanggil saya untuk lebih mengarahkan pandangan pada-Nya,
daripada memandang pada nasib malang yang menimpa saya.
Tuhan Yesus selalu dan selalu memanggil saya, “Mari…”

Sebuah ajakan untuk datang lebih dekat lagi kepada-Nya.


Masuk dalam Lautan Kerahiman Ilahi

Ketika jiwa saya sengsara dengan teramat sangat,
karena begitu banyak permasalahan
yang diakibatkan oleh dosa dan pelanggaran,
saya berjumpa dengan Lautan Kerahiman Ilahi.

Dalam Lautan Kerahiman Ilahi,
saya menemukan bahwa saya– seorang pendosa ini –
boleh masuk dan berlindung
di dalam lautan pengampunan dan belas kasihan Yesus Kristus.

Di dalam lautan ini saya terlindung dari kejahatan diri sendiri,
dari kejahatan orang lain, dari serangan si jahat, dan dari murka ALLAH.
Lautan Kerahiman Kristus itu ditandai
dengan tanda “kepercayaan dan pengharapan”.
Tidak ada seorang pun yang berlindung di dalam-Nya akan mendapat celaka.
Justru, di dalam lautan ini setiap pendosa akan beroleh rahmat
untuk dilindungi dari kematian kekal
dan disucikan dalam kasih kerahiman-Nya.

Ada begitu banyak rahmat yang tersedia di dalam lautan ini.
Namun, satu hal yang ingin saya tekankan adalah:

Di dalam Lautan Kerahiman Ilahi saya menemukan rahmat
untuk merasakan Cinta ALLAH,
dan untuk mencintai ALLAH,
serta untuk mencintai sesama dengan Cinta ALLAH.

Dalam Lautan Kerahiman Ilahi saya diselubungi dengan damai sejahtera.
Dalam Yesus Kristus ada damai sejahtera. Ya … damai sejahtera.


Iblis Menuntut Saya

Suatu ketika saya mengalami serangan iblis yang menuntut saya.
Di sini saya akan menjelaskan kepada Saudara sekalian,
bahwa selama kita masih hidup di dunia ini,
selalu akan ada kesempatan di mana iblis mencoba mencari celah
untuk menjatuhkan kita dan membawa kita kepada dosa.

Saya sedang duduk di teras rumah,
ketika saya mendengar suara si jahat itu.
Dia mulai menggoda saya dengan mengingatkan saya
bahwa saya ini adalah seorang yang sangat berdosa.
Si pendakwa itu berkata bahwa saya lebih cocok menjadi pengikutnya
daripada pengikut Kristus.

Di sini saya ingin memperlihatkan kepada Saudara sekalian,
bahwa sekalipun melawan ALLAH,
tapi dia tidak menghujat-Nya di hadapan saya.
Iblis tidak hendak menjatuhkan Yesus,
karena dia tahu dia tidak mampu.
Dia kenal siapa Yesus dan dia tunduk di bawah kuasa-Nya.
Tapi, yang ingin dijatuhkannya di sini adalah “saya”.
Saat itu dia tidak menyerang Yesus, tetapi dia menyerang saya.

Si jahat itu pun berbicara kepada saya
mengenai potensi-potensi besar yang ada pada diri saya.
Dia memuji kehebatan-kehebatan saya
yang menurutnya bisa dipergunakan untuk menguasai dunia.
Dia membujuk saya, yaitu jika saya mau bergabung dengannya,
Maka kepada saya akan diberikannya kuasa untuk menaklukkan dunia.
Bahkan, dia mengatakan bahwa saya bisa melawan ALLAH.
Dia meyakinkan saya bahwa saya dapat melakukan hal itu.
Dia tinggal menunggu apakah saya mau menerima tawarannya atau tidak.
Percakapan ini bukan sesuatu yang abstrak
atau hanya sebuah perumpamaan.
Tapi, sungguh-sungguh suatu percakapan antara si jahat dan saya –
seorang yang diinginkannya untuk menjadi pengikutnya.

Saat saya mendengar semua ocehan si penggoda itu,
saya menangis sejadi-jadinya. Saya tidak tahan.
Mungkinkah si jahat itu benar?
Bahwa saya lebih cocok jadi pengikutnya?
Bahwa saya tidak pantas untuk menjadi pengikut Yesus?
Mungkinkah benar yang dikatakannya
bahwa saya punya potensi besar untuk merusak… untuk membuat kekacauan?
Benarkah bahwa saya ini tidak pantas lagi untuk menerima cinta ALLAH?

Saya menangis ketika membayangkan kemungkinan
bahwa saya memang diciptakan untuk mengkhianati ALLAH.
Oh, sungguh mengerikan jika membayangkan
bahwa saya akan menjadi anggota kerajaan kegelapan.

Saya berdoa memohon Tuhan untuk menolong saya dalam
menghadapi dakwaan dan godaan si iblis.
Kemudian, saya mendengar suara Tuhan Yesus berkata:

“Sekarang, sebutkanlah semua dosa-dosamu itu di hadapan-Ku!”

Saya pun mulai menyebutkannya satu per satu. Lalu Dia berkata:

“Sekarang, satukanlah semua dosa-dosamu itu dengan dosa-dosa seluruh dunia!”

Aah… ketika saya mendengar perkataan-Nya itu,
saya kembali menangis sejadi-jadinya.
Sungguh, begitu banyaknya dosa-dosa itu.
Dosa-dosa saya sendiri saja sudah sedemikian banyak,
apalagi jika disatukan dengan dosa-dosa seluruh dunia.
Lalu, saya kembali mendengar suara Tuhan Yesus. Dia berkata:

“Sekalipun dosa-dosamu yang sedemikian banyak itu
kau satukan dengan dosa seluruh dunia,
itu tidak akan sebanding dengan besarnya cinta kasih-Ku kepadamu.
Apalah artinya semua dosamu itu
jika kau bandingkan dengan Tetesan Darah-Ku yang mengalir di kayu salib
demi menebus dosa-dosamu dan dosa seluruh dunia?
Engkau adalah milik-Ku. Percayalah bahwa Aku mencintaimu.
Jika engkau percaya kepada-Ku,
maka tak ada suatu apa pun yang dapat merampasmu dari-Ku!”

Saat itu juga rahmat Tuhan memenuhi saya
dan kedamaian yang luar biasa menaungi saya.
Dan, iblis pun pergi dari situ.


Titik Balik: Pertobatan Seorang Pendosa

Titik balik dalam kehidupan saya
terjadi pada masa di mana saya menyadari bahwa:
“Sesungguhnya saya ini hanyalah seorang pendosa.”

Ya, sejak kecil saya tahu tentang dosa,
tapi saya tidak betul-betul mengerti tentang kuasa “dosa”.
Saya tahu bahwa saya seorang pendosa,
tetapi saya tidak betul-betul mengerti
bahwa saya ini adalah seorang “pendosa”.

Di sini saya hendak menggambarkan
bahwa kebaikan apa pun tidak meluputkan kita dari kenyataan
bahwa kita semua adalah orang berdosa.

Secara teori kita tahu bahwa kita mewarisi dosa Adam dan Hawa.
Namun, kita tidak menyadari
bahwa hal tersebut bukan hanya sekadar teori semata,
tetapi sungguh suatu kebenaran tentang siapakah kita ini sebenarnya.
Kita semua adalah orang-orang berdosa.

Saya merenungkan segala sesuatu yang terjadi pada saya.
Akhirnya, saya sampai pada suatu kenyataan
bahwa kebaikan apa pun yang ada dalam diri saya
bukanlah sebuah kebaikan
– jika kebaikan itu bukan bersumber dari ALLAH,
dan dilakukan di dalam ALLAH,
dan bagi ALLAH.

Jika saya tidak bersatu dengan ALLAH,
maka segala kebaikan yang saya lakukan adalah sia-sia semata.

Kebaikan apakah yang dapat keluar dari seorang manusia,
mengingat manusia itu adalah seorang yang berdosa?
TIDAK ADA! Tidak ada yang baik jika “yang baik itu” berada di luar ALLAH!

Jadi,
akhirnya dalam titik balik ini saya menyadari:
saya harus kembali pada kesadaran diri
bahwa saya hanyalah seorang pendosa yang malang.
Seorang yang mudah jatuh dalam pencobaan dan kuasa jahat.
Seorang yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari kuasa dosa.
Seorang yang membutuhkan TUHAN ALLAH sebagai Juru Selamat.

Pada titik balik ini,
saya mulai memaknai setiap hari
sebagai hari pertobatan dan hari perbaikan diri.
Setiap hari adalah hari milik ALLAH semata
– dari ALLAH, dalam ALLAH, dan untuk ALLAH.


Setia Pikul Salib

Dari dalam pergumulan hidup,
akhirnya saya pun menyadari mengapa saya harus memikul salib.
Ternyata, alasannya adalah sama
dengan alasan seorang yang ikut disalib bersama Yesus,
yaitu: kesadaran bahwa saya ini adalah seorang berdosa,
jadi… saya memang layak untuk menanggungnya!

Dari pengalaman saya memikul salib,
yang sering kali saya lakukan adalah:
mengingat dan merenungkan Sengsara Kristus.
Dengan cara yang demikian,
saya mempersatukan derita yang saya pikul ke dalam derita Yesus Kristus.
Dengan begitu, beban yang saya pikul menjadi ringan,
dan hati pun menjadi tenang.

Dari apa yang saya alami dan saya renungkan,
sampailah saya pada pernyataan iman,
bahwa: bagi orang yang menolak memikul salib
dan menolak pertolongan Yesus,
sesungguhnya salib itu menjadi semakin besar dan semakin berat.
Salib menjadi tanda dosa dan hukuman maut
– bagi setiap orang yang berdosa!

Namun, bagi yang menerima salib dengan rela
dan memohon pertolongan Yesus,
sesungguhnya salib itu menjadi semakin kecil dan semakin ringan.
Salib menjadi tanda pengampunan dosa dan penebusan dari hukuman maut
– bagi setiap orang berdosa yang menerima Yesus Kristus
sebagai Putra ALLAH, Tuhan, dan Juru Selamat!


Bapa… Ini Aku Anak-Mu, Kembali Pada-Mu

Dari segala sesuatu yang terjadi,
akhirnya saya kembali menjadi seorang anak kecil
yang datang kepada ayahnya.
Dari balik kegelapan jiwa saya berseru:

“Bapa... Bapa.... ini aku anak-Mu.
Kembali kepada-Mu.

Maafkan aku karena telah menomor-satukan cita-citaku
dan menaruh Engkau di belakangnya.

Jalanku bukanlah jalan-Mu.
Kehendakku bukanlah kehendak-Mu.

Engkau yang menilik hati umat-Mu,
kepada-Mu aku memercayakan kehidupanku.

Ampunilah aku dan terimalah aku kembali menjadi anak-Mu.
Sekiranya Engkau berkenan, pulihkanlah hidupku dan tunjukkanlah jalanku.”

Saya adalah seorang yang sangat berdosa.
Namun, Bapa adalah Bapa yang baik hati dan berbelas-kasih.
Tidak ada seorang pun yang berseru kepada-Nya dengan derai air mata,
dengan penyesalan, dan dengan pertobatan akan dibiarkan-Nya.

Inilah kabar baik yang ingin saya beritahukan, yaitu: “Jangan takut!

Bapa Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
tidak akan dibiarkan-Nya seorang pun dari kita hilang dalam kebinasaan.
Sepahit apa pun kehidupan kita;
sebejat apa pun diri kita;
apabila kita menyadari kedosaan kita,
dan mohon ampun serta mohon belas kasihan ALLAH,
maka ALLAH Yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih
akan mengampuni kita dan memeluk kita dengan kasih yang tiada batas.”

Bapa Surgawi menanti seluruh anak-Nya
untuk percaya pada pengampunan, kasih, dan kerahiman-Nya.
Tidak ada seorang pun yang hendak kembali kepada-Nya akan ditolak-Nya.
Justru sebaliknya,
Bapa mendamba semua anak-anak untuk kembali kepada-Nya.
Berlari masuk dalam rangkulan Bapa Kekal.
Masuk ke dalam perlindungan abadi dari Bapa Surgawi.
Kembali dalam persatuan yang mesra – Bapa dan anak.


TITIAN KETIGA: “TUHAN MENGANUGERAHKAN HIDUP BARU”


Sebuah lagu…

Entah di pagi hari…
entah di siang terang…
entah di malam kelam…
Tuhan Yesus selalu ada…

DIA mengerti sakitku…
setiap goresan lukaku…
Aku adalah musafir
Yang diberi-Nya air…

Reff:

DIA berikanku hidup baru…
DIA berikanku hidup baru…
Dalam luka-luka-Nya aku berlindung…
Dalam kebangkitan-Nya aku “hidup”
DIA memberikan aku… hidup baru….


TUHAN Membuka Mata Saya untuk Melihat Cinta-NYA

Belum lama ini saya mengalami tahap baru dalam kehidupan
– di mana dapat dikatakan bahwa Tuhan baru saja membuka mata saya.

Tuhan telah memukul saya dengan keras.
Yang Mahaadil telah menunjukkan kepada saya suatu kehidupan
– tugas perutusan – yang Dia kehendaki untuk saya alami dan jalani.
Saya tersadar. Baru-baru ini mata saya terbuka!

Ternyata cara Tuhan sangat berbeda dengan cara manusia.
Di lain waktu Dia memperlihatkan keagungan-Nya
lewat segala keberhasilan yang kita capai,
namun di lain waktu Dia memperlihatkan kemuliaan-Nya
lewat kegagalan dan penderitaan yang melanda hidup kita.

Ketika saya kecil Tuhan menunjukkan
bahwa Dia adalah andalan manusia
untuk meraih keberhasilan dan kesuksesan.

Setelah saya dewasa Tuhan kembali menunjukkan
bahwa Dia jugalah andalan manusia
ketika manusia terperosok ke dalam jurang kekelaman,
kegagalan, penderitaan, dan bahkan dosa.
Sungguh, semua yang ditunjukkan Tuhan ini merupakan pernyataan bahwa:
...TUHAN SANGAT MENCINTAI MANUSIA...

Kita manusia tidak perlu mencari muka kepada Tuhan.
Tidak perlu besar kepala bahwa jika saya orang baik maka saya dicintai Tuhan.
Tidak perlu mencari pencerahan diri dan batin, atau tenaga dalam apa pun
untuk mengangkat diri kita menjadi citra Allah Yang Maha Tinggi.
Tidak perlu apa pun untuk membuktikan bahwa kita berharga di mata Tuhan.

Mengapa?
Karena sudah sejak semula ALLAH telah terlebih dahulu mencintai manusia.
Bahkan ALLAH rela menyerahkan Yesus Kristus yang tak bercela
untuk dijadikan korban bagi penebusan dosa manusia.

Maka, tidakkah kita pernah merenungkan hal ini?
ALLAH Yang Mahacinta tidak menunggu manusia untuk mencintai-Nya
baru kemudian Dia balas mencintai manusia.
Tuhan sungguh telah terlebih dahulu mencintai kita!
Kita tidak bisa melakukan apa pun
untuk bisa membalas cinta yang sempurna ini,
karena kita bukan makhluk yang sempurna.

Tuhan hanya menginginkan
agar kita setia mencintai-Nya dan mencintai sesama kita,
dalam kebahagiaan maupun dalam penderitaan.

Tuhan ALLAH selalu setia kepada manusia,
dalam susah dan senang.
Maka, biarlah kita juga selalu setia kepada-Nya,
dalam susah dan senang – dalam kebahagiaan maupun penderitaan.

Ternyata, setelah saya renungkan:
CINTA TUHAN tidak dapat diukur dengan keberhasilan ataupun kegagalan.

Demikian pula tugas perutusan di dunia ini tidak dinilai
dari berapa banyak keberhasilan yang kita raih,
atau berapa kali kita jatuh dalam kegagalan.
Tuhan telah membuat saya sadar,
bahwa tugas perutusan hidup di dunia ini adalah:

Bertahan hidup di dalam kasih;
serta tetap mampu memberikan kasih,
sekalipun hidup yang kita jalani penuh dengan kepahitan dan kegagalan;
tetap mengasihi sekalipun kita tidak dikasihi.


Tuhan Punya Rencana

Saya adalah seorang yang melakukan banyak sekali kesalahan dalam hidup ini.
Namun, semua kesalahan-kesalahan saya
telah ditutupi dengan kerahiman ALLAH,
karena satu kebenaran yang ada pada saya, yaitu:
bahwa saya mengharapkan belas kasihan dan pertolongan ALLAH.

Saya mengalami sendiri perkataan dalam Mazmur:
“Berbahagialah orang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!”

Ketika saya mengakui kesalahan dan pelanggaran saya,
maka saat itu pun Tuhan menunjukkan bahwa Dia punya rencana dalam hidup saya.

Rencana yang indah.
Rencana yang menyelamatkan saya.
Rencana yang kemudian dapat membuat saya bersaksi
bahwa Tuhan adalah Juru Selamat Dunia.

Dalam rencana-Nya itu,
ALLAH menunjukkan bahwa Tangan-Nya kuat dan perkasa
untuk menarik jiwa-jiwa dari dalam kegelapan
– supaya “manusia dapat bersaksi”,
bahwa bila manusia mau mendengarkan suara-Nya dan berbalik kepada-Nya,
maka ALLAH Mahakuasa berkuasa membebaskan manusia dari kegelapan.
Saya adalah saksi-Nya, bahwa:

“ALLAH punya rencana dan rencana-Nya adalah untuk keselamatan!”


Tuhan Memilih Seorang yang Bodoh di Mata Dunia

Sebenarnya saya adalah seorang yang bodoh.
Betapapun banyaknya prestasi saya,
tetapi di hadapan ALLAH dan manusia,
saya telah menjadi seorang yang bodoh.

Dari semula Tuhan sudah punya rencana terhadap saya.
Namun, Tuhan perlu menunjukkan kebodohan-kebodohan saya
pada diri saya sendiri, dan juga pada dunia,
supaya saya belajar merendahkan diri di hadapan-Nya.

Tuhan tidak mengutus saya di tengah-tengah keberhasilan
– di mana saya bisa menyatakan betapa hebat kepintaran
serta ilmu pengetahuan yang saya miliki –
supaya saya tidak bermegah atas diri saya sendiri.

Sebaliknya,
Dia mengizinkan saya melakukan kebodohan demi kebodohan
yang saya sendiri hampir tidak mengerti
mengapa saya bisa melakukan hal-hal seperti itu.

Saya pun teringat perkataan yang telah tertulis:

“Karena manusia tidak mengetahui waktunya.
Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan,
dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat,
begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang,
kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.” (Pengkhotbah 9:12)

Dari dalam api pemurnian – dari dalam jurang yang kelam –
Tuhan memanggil dan mengutus saya untuk bersaksi di dalam nama-Nya.
Dari tengah-tengah kesesakan dan penghinaan yang saya terima
– dari dasar titik terendah dalam kehidupan ini –
dari situlah saya dibangkitkan Tuhan
untuk bersaksi bagi kebesaran dan kemuliaan-Nya.

Dengan demikian,
kesaksian ini bukan lagi untuk memegahkan diri saya sendiri,
tetapi untuk memegahkan karya Kristus yang saya alami di dalam kehidupan ini.

“Sebab yang bodoh dari Allah
lebih besar hikmatnya dari pada manusia

dan yang lemah dari Allah
lebih kuat dari pada manusia….

Tetapi apa yang bodoh bagi dunia,
dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat,

dan apa yang lemah bagi dunia,
dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat,

dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah,
bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti,

supaya jangan ada seorang manusiapun
yang memegahkan diri di hadapan Allah….

Karena itu seperti ada tertulis:

“Barang siapa yang bermegah,
hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” (1 Korintus 1:25)

Beginilah firman TUHAN:

“Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya,
janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya,
janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya,

tetapi siapa yang mau bermegah,
baiklah bermegah karena yang berikut:
bahwa ia memahami dan mengenal Aku,

bahwa Akulah TUHAN
yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi;
sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.” (Yeremia 9:23-24)


Diutus untuk Mewartakan Kerahiman ALLAH

Atas rahmat dan kasih-Nya,
Tuhan telah menganugerahkan kepada saya
arti kehidupan yang selama ini saya cari.

Arti kehidupan yang saya coba selidiki dengan penuh kepercayaan diri,
dengan pengetahuan, dengan talenta-talenta,
hasilnya malahan membawa saya pada suatu tahap
di mana saya harus kembali belajar merangkak.

Kepandaian, ilmu, pengetahuan, kekayaan,
keterampilan, talenta, keinginan, kehendak,
tak ada satu pun yang sebanding
dengan merangkak di bawah Rahmat Kerahiman Ilahi.

Saya bukan apa-apa, saya bukan siapa-siapa.
Usaha apa pun tidak menjadikan saya seseorang yang berarti.
Tuhan telah menyadarkan saya, segala sesuatu hanya dari-Nya saja.
Hidup saya selamanya tidak akan berarti apa pun
jika saya tidak memandang Dia
yang telah memberikan napas kehidupan bagi saya.

Jalan hidup yang saya lewati telah mengajarkan saya,
Bahwa manusia sungguh tiada berarti apa-apa
jika dibandingkan dengan kebesaran ALLAH. Di dalam Kemahakuasaan-Nya,
saya mengalami sendiri bahwa Kerahiman Ilahi sanggup membungkus saya
dengan rahmat untuk menyadari betapa besar kasih ALLAH kepada manusia.
Atas besar rahmat-Nya pula,
saya pun diutus untuk mewartakan kerahiman-Nya ini.
Selagi masih ada waktu….

Tuhan Yang Maha Baik mengutus saya
– seorang yang hina ini–
untuk menjadi saksi hidup
bahwa Kerahiman Ilahi tercurah bagi setiap manusia.

Ini adalah janji yang sangat istimewa;
bahwa sekalipun yang miskin, yang hina, yang dianggap sampah masyarakat,
tidak ada satu pun yang ditelantarkan oleh ALLAH.

Pilihannya ada pada manusia,
“Apakah Saudara mau memohon Kerahiman ALLAH
atau tetap bertahan dalam keadaan Saudara
yang begitu menyengsarakan itu?”

Hidup bukanlah sesuatu yang tidak berarti.
Justru segala suka duka yang kita alami di dalam hidup kita
adalah bagaikan ukiran-ukiran yang menambah nilai suatu karya seni.
Seperti itulah hidup manusia.
Apa pun yang terukir di dalam hidup kita,
semuanya itu adalah Karya Seni Sang Pencipta.

Jika ada salah satu karya seni yang jatuh dari meja
dan kemudian patah dan tidak bisa diperbaiki lagi,
maka serahkanlah pada “Sang Ahli”.
ALLAH akan meleburkan karya seni yang sudah rusak itu,
dan membentuknya menjadi sesuatu yang baru dan lebih indah lagi.

Jika kita bisa melihat kebaikan ALLAH yang sungguh tak terhingga ini,
maka seumur hidup kita dan bahkan sampai selama-lamanya
kita akan selalu bersyukur:
“ALLAH kita sungguh baik. Kekal abadi kasih setia-Nya!”

Maka, patutlah kiranya kita selalu bersyukur di setiap untung dan malang.
Dengan demikian, kita akan beroleh rahmat kekuatan
untuk sanggup menjalani tugas perutusan kita masing-masing di dunia ini.

Atas besar rahmat ALLAH, maka saya juga akhirnya menyadari,
bahwa saya hidup di dunia ini dengan suatu tugas perutusan yang pasti, yaitu:

“Mempertahankan “Kasih” di dalam jiwa saya
agar jiwa saya tidak binasa,
dan memberikan “Kasih” kepada sesama saya agar mereka mengenal “Kasih”
sehingga jiwa mereka tidak binasa”

Sebagaimana ALLAH telah menunjukkan kerahiman-Nya
Yang tiada tara kepada saya,
maka saya pun belajar untuk menunjukkan kerahiman kepada sesama.
Tuhan telah memberi saya dengan melimpah,
maka saya pun hendak meneruskannya
kepada setiap orang lainnya dengan melimpah.

Ketika saya berbicara dan menyatakan “Kasih”…
sesungguhnya saya pun berbicara dan menyatakan “Kerahiman Ilahi”.

Saya mencoba untuk benar-benar menghidupkan “kata-kata suci ini”
dalam setiap sisi kehidupan.
Jika saya sungguh-sungguh “mengasihi”,
maka saya pun harus sungguh-sungguh “mengampuni dan berbelas kasih”.

Di dalam Tuhan,
saya yakin bahwa pencerahan batin yang Tuhan anugerahkan kepada saya ini
bukan hanya untuk menyadarkan saya tentang tugas perutusan saya di dunia.
Tapi, melalui pengalaman hidup saya,
Tuhan juga hendak menunjukkan kepada Saudara sekalian
bahwa setiap manusia mempunyai tugas perutusan yang sama,
meskipun jalan hidup yang kita jalani berbeda-beda.

Marilah kita merenungkan kehidupan yang selama ini kita jalani.
Sudahkah kita menjalani tugas perutusan di dunia ini
dengan mengarahkan pandangan kepada Tuhan?
Apakah dalam setiap tugas dan kegiatan hidup sehari-hari
kita telah hidup di dalam kasih dan kerahiman?
Sanggup mengasihi Allah di dalam setiap suka dan duka hidup?
Masih sanggup mengasihi sesama yang membuat hidup kita menderita?
Masih mengasihi orang lain ketika kita sedang menanggung sengsara?

“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam….
melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;
Akulah TUHAN.” (Imamat 19:18)

“Kasihilah musuhmu
dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:43-44)

“Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
Dan hukum yang kedua ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
(Markus 12:30-31)


Mulai Menuliskan Sejumlah Penglihatan

Bulan Februari 2006,
saya kembali menyusun sebuah buku fiksi
di mana saya mencoba mengungkapkan
kasih yang saya terima dan rasakan
selama pergulatan hidup yang begitu menyengsarakan.

Tanggal 16 Februari 2006, kira-kira jam 08.00 pagi,
ketika saya mulai menuliskan buku tersebut
saya berdoa memohon Rahmat dari Tuhan.
Semoga pekerjaan ini menjadi suatu karya untuk bekerja di ladang Tuhan.
Ketika saya selesai berdoa, tiba-tiba saya mendengar suara berkata:
“Pergilah, kamu diutus!”

Saya menjadi sangat terheran-heran
karena mengetahui bahwa saya sungguh mendengar perkataan itu,
tetapi itu bukan suara saya.

Lalu, saya pun menjadi sangat bersemangat dalam menulis.
Namun, saya tidak pernah menduga
bahwa apa yang terjadi kemudian adalah
saya tidak perlu menuliskan kisah fiksi
– karena kemudian Tuhan menunjukkan
ke arah mana Dia hendak mengutus saya.

Kejadian demi kejadian bergulir.
Suatu ketika, ada dorongan yang sangat kuat hadir di dalam hati,
supaya saya menghadap Imam Paroki setempat.
Saat itu saya begitu ingin membagikan pengalaman-pengalaman spiritual,
kehidupan bersama Tuhan yang saya alami sejak kecil.

Saat bertemu dengan Pastor Paroki,
dia menyuruh saya menulis kisah-kisah spiritual yang saya alami itu
dan menyerahkan tulisan itu kepadanya.

Akibatnya, kisah fiksi saya terhenti!
Sebagai gantinya, saya mulai menulis kisah perjalanan hidup
dan pengalaman spiritual yang pernah saya alami.

Ternyata, Tuhan Yesus telah membuka mulut Imam itu
– untuk memerintahkan saya
supaya menuliskan kisah-kisah saya bersama-Nya.
Tulisan saya kepada Imam tersebut adalah awal dari buku ini.


Nubuatan Menjadi Kenyataan

Saya tak pernah menduga
bahwa yang terjadi sesudah saya bertemu Pastor Paroki adalah:
salah satu bagian yang saya tuliskan di dalam tulisan itu
menjadi sebuah nubuatan yang segera tergenapi
beberapa hari setelah tulisan itu diserahkan kepada Imam yang memintanya.

Nubuatan itu adalah mengenai bencana yang menimpa Sulawesi Utara.
Saya percaya ini semua hanya dapat terjadi karena tuntunan Roh Kudus.
Apabila saya menuliskan kesaksian tersebut sesudah bencana itu terjadi,
tentulah tidak ada yang akan memercayainya.

Tapi, Tuhan telah mengatur semuanya dengan sempurna.
Atas dorongan Roh Kudus,
saya telah menyerahkan tulisan tersebut tidak hanya kepada Imam itu,
tetapi juga kepada seorang hamba Tuhan lainnya,
dan kepada teman-teman terdekat saya – sebelum bencana tersebut terjadi.


Penglihatan Semakin Bertambah Banyak

Saya hanya bisa berpasrah
ketika kemudian semakin banyak pengalaman spiritual lainnya
terjadi atas saya.

Penglihatan, nubuatan, pengajaran,
dan berbagai karunia Roh Kudus
saya alami di waktu pagi, siang, sore, malam, dan subuh
– hampir di sepanjang waktu.

Atas petunjuk seorang Imam Tarekat MSC
yang begitu baik dan lemah lembut,
saya belajar untuk rajin menuliskan
apa yang saya terima dari hari ke hari dalam sebuah diari.

ALLAH menyuruh saya
untuk memberitahukan kepada sebanyak mungkin orang,
tentang bagaimana caranya menyelamatkan diri
dalam situasi-situasi menyedihkan yang sedang terjadi sekarang,
dan yang juga sedang menanti di ambang pintu.

Saya tidak hanya akan memberitakan tentang malapetaka-malapetaka
seakan-akan kiamat akan terjadi detik ini juga.
Tapi, lebih dari itu, saya ingin mengingatkan
bahwa kita patut waspada dan berjaga-jaga,
karena kita tidak pernah tahu kapan “Hari Tuhan” tiba.
Tidak sekadar memberi peringatan
tentang kesengsaraan yang menanti di masa yang akan datang,
tetapi lebih dari itu saya ingin memberitakan kabar gembira.
Saya ingin memberitakan tentang Lautan Perlindungan dan Benteng Keselamatan.

Jangan katakan
bahwa Tuhan tidak memberikan peringatan,
Karena peringatan itu begitu sering diberikan,
namun lebih sering diabaikan….
Jangan pula katakan
bahwa Tuhan tidak memberi perlindungan dan keselamatan,
karena tentang itu Kitab Suci telah bersaksi,
dan sekarang saya pun bersaksi tentang perlindungan dan keselamatan
yang datang “hanya” dari TUHAN – ALLAH Israel!


Seorang Awam yang Diutus Tuhan

Saya hanyalah seorang awam; bukan seorang ahli teologi.
Saya menuliskan semua ini bukan dengan penyelidikan secara teori,
tetapi sungguh dari pengalaman hidup yang saya alami
dan berdasarkan hati nurani saya.

Apa yang saya terima dari-Nya, itulah yang saya teruskan:

“Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya barang siapa menerima orang yang Kuutus,
ia menerima Aku,
dan barang siapa menerima Aku,
ia menerima Dia yang mengutus Aku.” (Yohanes 13:20)

Saya telah menemukan mutiara yang sangat indah dan berharga.
Saya berharap Saudara sekalian pun segera menemukan
mutiara yang sama:

“Demikian pula hal Kerajaan Surga itu
seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah.
Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga,
Iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.”
(Matius 13:45-46)

Atas bimbingan Roh Kudus
saya telah memberanikan diri menuliskan semua ini
dan membagikan harta yang berharga ini kepada setiap orang.
Dia Yang Mahapengasih telah mengasihi saya
dan saya hendak meneruskan “Kasih” ini kepada setiap orang.


Anugerah Hidup Baru

Sejak ALLAH Tritunggal Mahakudus mengunjungi saya;
Bunda Maria dan Santo Yosep meneguhkan saya;
dan malaikat Gabriel mengatakan kepada saya….

“Jangan takut! Damai sejahtera bagimu.
Sesungguhnya kamu beroleh kasih karunia di hadapan ALLAH.
Mulai saat ini Tuhan menggantikan hidupmu dengan hidup baru”

Sejak saat itu,
saya pun beroleh anugerah HIDUP BARU.
Puji Tuhan.